Senin, 19 Maret 2018

Rontal dan lontar

Istilah  penyebutan“lontar dan rontal” sering rancu. Hal ini terjadi karena hanya dilihat dari gejala metatesis yang terjadi pada kedua istilah tersebut. Namun, jika direnungkan secara mendalam sesungguhnya makna yang diacu jelas-jelas berbeda. Istilah “lontar” adalah untuk menyebut sebuah hasil karya (seni-sastra) yang berasal dari “rontal” {palm-leaf)-, sedangkan istilah “rontal” adalah berupa bahan tulis (material-writting) itu sendiri, dalam artian belum ada tulisan. Dengan kata lain, istilah “lontar” lebih mengacu kepada teksnya {manuscript), yakni segala sesuatu yang ditulis di atas “rontal”. Sementara istilah “rontal” lebih mengacu kepada bahan yang ditulisi, sebagaimana makna yang tersirat di dalam kata “rontal” itu sendiri, yakni: ron ‘daun’ dan fa/’pohon tal’. Dengan demikian, jika seseorang menyebut “lontar”, jelas yang dimaksudkan adalah manuscript (naskah) yang ditulis di atas “rontal”, bukan rontalnya (daun tal). Kaitannya dengan adanya “budaya lontar” di Bali, istilah “lontar” digunakan untuk menyebut tradisi sastra Bali (klasik) maupun tradisi budaya tulis-menulis masyarakat tradisional Bali yang cenderung berkonotasi arkais atau sakral-religius.
Sebuah kesepakatan masyarakat bahasa, bahwasannya di Bali pemberian nama untuk naskah kuna yang ditulis dari bahan daun tal (rontal) disebutnya sebagai naskah atau lontar, sehingga penyebutan antara lontar sebagai naskah kuna dengan rontal sebagai bahan tulis sering rancu, bahkan dalam membuat jejahitan berupa lamak, cili, tikar, aneka ragam anyam- anyaman dan sejenisnya adalah daun tal (rontal). Sebuah perbandingan untuk naskah Jawa, Batak, Sunda, Sumatra, dan sebagainya yang sebagian besar ditulis di atas kertas/daluang, kulit kayu alim, daun nipah, maupun bambu penyebutannya tidak mengacu kepada bahan yang digunakan, melainkan cenderung dengan menyebut nama daerah masing-masing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar